“Go... ayo bangun”. Kata ibuku sambil tangan lembutnya
menggoyang-goyang badanku. Aku membuka mataku yang mempunyai iris mata berwarna
biru. Kutatap wajah ibuku yang anggun itu dan kulirik mataku ke sebelah untuk melihat
jam dinding, jam 2 pagi. Aku segera mandi dan memakai baju. Hari ini kami akan
berkunjung ke saudaraku di Solo.
Pagi itu aku naik becak bersama adik, bapak dan ibu
menuju ke Terminal Bungurasih. Jarak kos keluargaku di daerah Kebraon ke
Terminal Bungurasih sekitar 8 kilometer. Pagi itu begitu dingin. Jaket
pemberian ibuku tak sanggup menghadang rasa dingin itu ditambah lagi sakit
batukku yang tidak kunjung sembuh-sembuh. Sejak kecil, aku selalu
terserang penyakit batuk. Hampir tiap sebulan sekali aku selalu batuk. Tapi
keluargaku tidak pernah memeriksakan penyakitku ini ke dokter sebab
keterbatasan biaya.
Sampai di Terminal Bungurasih, kita beli nasi bebek
bungkus. Sekitar pukul 6 pagi kita sudah mendapat bis jurusan Solo. Di
perjalanan, aku terus batuk-batuk. Batuk ini berbeda dengan batuk yang aku
alami sebelumnya. Rasanya menyiksa, ada dahak yang mau keluar tapi sulit sekali
untuk keluar. Bapakku bolak-balik bilang ke aku untuk tidak minum es. Tapi
dasar aku yang masih kelas 3 SD tetap minum es. Aku suka sekali minum es.
Terminal Tirtonadi adalah terminal pusat di Solo. Aku
turun disana sekitar pukul 8 malam. Perjalanan yang begitu lama sebab
perjalanan Surabaya - Solo begitu macet. Kami keluar dari terminal dan makan
nasi bebek bungkus yang dibeli waktu di Terminal Bungurasih. Saat kami makan,
ternyata sambal bebek tidak ada. Ayahku berguman kepada tukang jualan nasi.
“Bebek kalau gak dikasih sambal ya masak enak, anyep”. Tapi ibuku
menenangkan bapakku, “Sudah pak... mungkin orang jualan bebek tadi lupa ngasih
sambal”
Batukku terus menjadi-jadi. Batuk yang tidak bisa keluar
dahaknya. Menyiksa rasanya... Kemudian kami jalan kaki sekitar 1 kilometer
untuk mencari angkotan kota menuju ke rumah saudaraku. Kurang 100 meter
lagi, keluargaku berhenti sejenak untuk beristirahat menghilangkan pegal. Aku
digendong bapakku dan adikku digendong ibuku. Aku begitu manja saat itu, tak
pernah lepas dari pelukan bapakku.
Saat kami berhenti... aku batuk-batuk lagi. Disaat itulah
aku sudah jengkel dengan batuk yang kualami itu. Dan aku kemudian dengan sekuat
tenaga batuk dengan keras untuk mengeluarkan dahak yang nyantol di
tenggorakanku. Tapi sesuatu yang seharusnya tidak boleh keluar waktu kita sakit
batuk itu keluar juga. Ya... itulah darah. Aku batuk darah... aku merasa bukan
batuk darah tetapi muntah darah. Kira – kira 1 botol minuman mineral ukuran
sedang darah keluar dari mulutku.
Ibuku yang duduk disebelahku menangis melihat aku muntah
darah. Dia memelukku erat, seperti tidak mau kehilangan aku. Wajahku langsung
pucat seketika. Darah berceceran di depan toko tempat aku bersinggah. Bapakku
dengan sigap mengambil botol mineral ukuran besar dan menyiramkan darah yang
berceceran di lantai. Beliau juga memelukku. “Kenapa sama kamu Go.. makanya
jangan minum es.”
“Bapak juga... jangan sering merokok, berhenti merokok
pak. Bapak sudah punya anak, jangan merokok lagi pak”. Ketus ibuku. Ibu
menggendong aku sambil mengelus-elus kepalaku dan kita berangkat ke rumah
saudara. Aku hanya diam saja.
Dirumah saudaraku kami membisu, seharusnya senyum merajut
di bibir kami tapi sekarang berganti air mata yang menghiasai matanya.
Karena peristiwa itu, aku yang masih duduk di SD kelas 3
merasakan minum obat yang begitu banyak. Tiap hari bapakku memberikan 2 butir
obat merek Konidin untukku. Bapakku berhenti merokok untuk
kebaikanku. Bapakku merasa bersalah denganku sebab rokok yang bapak hisap tiap
hari. Bapakku yang merokok tapi dampang negatifnya kepada anaknya. Itulah
rokok... bapakku berhenti total untuk menghisap batang coklat rokok. Total...
Di masa SMP dan SMA, aku jarang berjumpa dengan seorang
perokok jadinya aku perlahan-lahan sembuh dengan penyakitku, tapi bekas dari
penyakit itu tidak berhenti total. Hampir dihitung tiap 1-2 bulan sekali,
paru-paruku seperti ditusuk oleh pisau tajam. Sakit sekali... sampai tubuh ku
tidak bisa bergerak sebab saking sakitnya. Tangan kanan kuremas-remaskan pada
dadaku untuk mengurangi rasa sakit itu.
Waktu aku kuliah, banyak sekali temanku yang
perokok. Dulu yang tidak suka merokok, tapi sekarang menjadi perokok. Mungkin
karena stress kuliah, lingkungan atau faktor ingin gaya. Aku sering berhadapan
langsung dengan mereka. Asapnya merenggut setengah nyawaku. Tapi apa boleh
buat, dia temanku. Aku mencoba untuk bertahan dengan semuanya. Tapi semua sudah
terlambat... setengah alveolusku sudah rusak. Aku hanya bertahan... bertahan
dan bertahan. Aku sudah capek mengingatkan mereka tentang bahaya merokok. Tapi
mereka tetap ngenyel.
lebih bahaya perokok pasif daripada perokok aktif.
Aku hanya berharap kepada sahabatku. Berhentilah merokok.
Aku kasihan bukan kepada para perokok tapi aku kasihan kepada orang yang bukan
perokok seperti keluarganya, pacarnya bahkan sahabat dekatnya. Aku senang dan
mensyukuri kepada para perokok yang terkena penyakit jantungan, impotensi atau
paru-paru. Sebab dia yang memulai menyentuh masalah dengan rokok akibatnya
terkena penyakit. Dan aku merasa sedih dengan para perokok pasif, mereka tidak
merokok tapi karena dekat dengan perokok aktif maka berdampak jelek bagi
tubuhnya.
Aku ingin naik gunung, tapi apa daya setengah alveolusku
tidak berfungsi.
Paru-paruku menyerap oksigen dengan apa???
Aku ingin pergi rekreasi ke pulau nan jauh disana, tapi
apa daya setengah paru-paruku tidak berfungsi
mau bernapas dengan apa???
Aku ingin sekali menikmati segarnya air terjun, tapi apa
daya setengah badanku tidak berfungsi
Mau bergerak dengan apa???
Aku ingin sekali berlama-lama di lapangan sepak bola,
tapi apa daya setengah tenagaku tidak berfungsi
Mau menendang dengan apa???
Semoga aku diberi umur panjang untuk melihat sahabatku
yang hobi merokok berhenti untuk menyebarkan debu putih itu.
Pesanku kepada para perokok
“Teruslah merokok kawan sebab rokok tidak diharam menurut
Al-Quran. Tapi ingatlah kepada sahabatmu yang sedang sakit karena rokok yang
engkau timbulkan itu”