Awalnya aku hanyalah setitik sperma yang dikeluarkan oleh ayahku. Sperma itu begitu kecil dengan ukuran yang 0,001 mikrometer. Kecil, sehingga begitu mudah untuk rusak, tetapi Tuhan menjaganya agar tetap utuh dan baik. Akupun berlari-larian dengan puluhan juta sperma lain, untuk mendapat posisi pertama yaitu sel telur. Tidak ada posisi kedua, ketiga apa lagi harapan. Aku berlari dengan kecepatan 30 mikrometer per detik, berpacu dengan sperma lain. Tapi diperjalanan, banyak temanku yang mati. Tidak kuat menahan suhu yang tidak sesuai dengan suhu yang sanggup ditahan sperma. Aku tidak mempedulikannya. Sebab hadiah jika bisa mendapat posisi pertama adalah bisa melihat dunia luar.
Bertahun-tahun dipenjara dalam kegelapan dalam tubuh ayahku. Aku ingin keluar dan melihat dunia ini. Aku ingin menikmati keindahan alam yang diciptakan Tuhan. Memegang rerumputan, memegang pepohonan yang berdiri kokoh, melihat pegunungan yang biru serta menjulang tinggi dan awan-awan yang berlarian. Dan tentunya ingin memiliki pasangan hidup.
Aku terus berlari tetapi beberapa teman lain sudah berada didepanku. Sel telur kurang beberapa milimeter lagi. Irama napasku sudah tak terengah-engah. Pandanganku sudah buyar sebab energi sudah habis terkuras untuk berlari. Aku menyalip teman-temanku seperti Valentino Rossi yang menyalip rekan se timnya. Aku mendapat posisi ke dua.
Tapi... sperma pertama yang berada pada posisi pertama, sudah menyentuh kulit sel telur dan dia masuk ke sel telur. Aku sedih... aku gagal, aku telah kalah, aku tidak bisa melihat dunia. Aku mengurangi kecepatan gerakku dan aku menyentuh juga sel telur itu. Aku melihat kepala sperma pertama sudah masuk tinggal ekornya yang belum masuk.
Tapi... aku mendapat mukjizat dari Tuhan, sperma yang kali pertama masuk tadi telah mati. Sadis sekali sel telur itu, membunuh sahabatku saat bertamu di dalam sel telur. Membunuh dari belakang. Tenagaku yang kukumpulkan saat beristirahat di luar sel telur kembali pulih lagi sebab aku menunggu dengan sabar sperma yang kali pertama masuk itu. Aku lalu menembus cangkang sel telur itu. Dan lagi sel telur melakukan perlawanan ke padaku. Tapi aku pun bisa menangkis serangan itu, akhirnya sel telur itu tunduk kepadaku.
Tapi... aku mendapat mukjizat dari Tuhan, sperma yang kali pertama masuk tadi telah mati. Sadis sekali sel telur itu, membunuh sahabatku saat bertamu di dalam sel telur. Membunuh dari belakang. Tenagaku yang kukumpulkan saat beristirahat di luar sel telur kembali pulih lagi sebab aku menunggu dengan sabar sperma yang kali pertama masuk itu. Aku lalu menembus cangkang sel telur itu. Dan lagi sel telur melakukan perlawanan ke padaku. Tapi aku pun bisa menangkis serangan itu, akhirnya sel telur itu tunduk kepadaku.
Aku mendapat juara pertama. Sikap individuku muncul, aku memenangkan pertarungan sengit itu. Aku menyisihkan berjuta-juta temanku. Akupun sombong mendapat tempat pertama. Aku memiliki sifat individu, ingin menang sendiri. Sikap itulah merupakan sikap alami manusia. Sejak manusia belum lahir, manusia sudah mempunyai sikap individu, mau menang sendiri dan sombong.
Dan sel telur itu menutup diri rapat-rapat sehingga para sahabatku tidak bisa masuk lagi. Aku sendirian di dalam sel telur dengan kegelapan yang mengitariku. Aku tidak sabar ingin keluar dari kegelapan ini, kutuangkan sikap ketidaksabaranku dengan menendang-nendang perut ibu yang mengandungku. Tapi ibuku membalasnya dengan memberikan lagu nan indah di perutnya. Memberikan aku makanan dan minuman yang bergizi. Aku hanya bisa mendengar orang-orang yang ditemui ibuku. Mereka menyapaku dan mengelus-elus aku. Aku begitu geli saat mereka menyentuhku dan aku membalasnya dengan tendakan salto. Aku ingin cepat-cepat melihat dunia.
ﷲ
Gelap...
Seorang ibu terbaring lemah di atas tempat tidur, wajahnya berusia 25 tahun dengan warna kulitnya berwarna kuning langsat dan mempunyai rambut keriting. Mulutnya menjerit-menjerit kesakitan, air keringat yang mengucur di wajahnya yang cantik itu. Kedua tangannya memegang erat bantal yang menyandarkan kepalanya. Air ketuban pecah sehingga membasahi rok dan tempat tidur ibu. Ibu terus mengerang kesakitan. Wajahnya merah menahan sakit. Seorang kakek berada di sebelah Ibu sambil menyuruhnya tetap tenang dan bersabar. Meyakinkan ibu kalau bidan akan datang. Sesekali kakek itu menghela-hela rambut ibu untuk menenangkan ibu. Suami dari ibu tersebut masih kerja, sehingga tidak bisa melihat langsung kejadian.
Kemudian seorang bidan datang ke rumah ibu itu. Dia memakai seragam warna putih dan memakai celana kain berwarna kelabu, diatas matanya terdapat keriput pertanda usianya sudah tua. Di dada sebelah dada kanan bidan terdapat tanda nama Lilik. Bidan itu membawa tas yang berukuran cukup besar seperti kantong ajaib, ada obat-obatan, stetoskop, jarum suntik, kapas, gunting dan lain sebagainya. Bidan itu disambut oleh kakek yang merupakan orang tua dari ibu itu. Sang ayah dari bayi itu masih kerja sehingga ayah tidak tahu istrinya sedang melahirkan.
Kedua kaki sang ibu terbuka lebar seperti mau mengeluarkan sesuatu yang ada diperutnya, ibu mengerang kesakitan, begitu sakit yang diderita sang ibu seakan-akan sang ibu berada di garis batas hidup dan mati. Itulah kelahiran pertama, sulit. Makanya anak pertama itu mendapat tanggung jawab yang besar, anak pertama merupakan penanggung jawab ke dua saat ayah sedang ada urusan. Ibu merupakan orang yang paling mulia dibandingkan yang lain sebab beliau membawa kita di perutnya selama 9 bulan dan melahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya.
Bidan tadi mengambil posisi dibagian bawah ibu. Tangannya berada di bawah ibu seperti orang yang sedang bermain voli yang siap menerima bola smash keras dari lawan.
"Ayo bu... Tahan napas dalam-dalam dan hembuskan." kata bidan yang berada di bawah kaki ibu kemudian ditambahi lagi dengan seruan. " Ayo bu... bayi ibu mau lahir, sedikit lagi bu". ibu semakin keras mengejan sehingga wajahnya berwarna merah, keringat pun bercucuran membasahi wajah ibu. "Ngggggeeee.... huh...huhhh... aduh... " rintih ibu.
Selembar kain putih menutupi kedua kaki ibu, bidan senior memijat mijat bagian perut ibu dengan kedua tangannya, membantu agar bayi yang berada di dalam perut ibu tersebut bisa keluar. Semua usaha dilakukan, kemudian sedikit demi sedikit. Bayi itu keluar, mulai dari rambut yang begitu kecil kemudian kepala bayi keluar. Bidan memegangi kepala bayi sebab kepala bayi masih lemah. Badan bayi yang mungil kemudian keluar dan diikuiti dengan tali pusar yang tersambung dengan bagian dalam ibu,
Dan...
Setelah beberapa menit, seorang bayi laki-laki mungil yang lemah dan lucu keluar dari perut ibu tapi tali pusar bayi masih bersambung dengan ibu, bidan pun mengambil gunting dan memotong tali pusar itu. Kulit bayi laki-laki itu masih berlumuran darah kemudian dengan sigap bayi itu ditelungkapkan dan pantat bayi mungil itu di pukul beberapa kali dan menangislah bayi itu, suaranya mengguncang langit ruang bersalin itu dan menggetarkan kaca.
ﷲ
21 Februari 1991.
Aku memilih tanggal 21 Februari 1991 untuk keluar dari tempat sempit dan gelap ini. Aku memilihnya karena tanggal itu merupakan nomer cantik. Dengan susunan angka 21-2-1991. kalau diurutkan menjadi 212 1991. 212 adalah nomer pendekar yang terkenal di Indonesia. Pendekar kapak 212. pendekar yang membela kebenaran dan melawan kejahatan yang ada dimuka bumi. Semoga pilihanku ini benar dan aku bisa menjadi seseorang yang bisa membela kebenaran dan melawan kebatilan serta hormat kepada orang tua.
Jam 02.00
"Bu... bayi ibu laki-laki, dia sehat dan beratnya 3 kilogram. Normal bu" kata bidan tersebut dengan senyum yang menempel di bibirnya. Dan bayi laki-laki tersebut dibersihkan dan dikembalikan kepada ibu yang telah melahirkan bayi tersebut. Bayi itu menangis mencari seorang yang melahirkannya, menangis karena dia berada di dunia yang fana dan penuh dengan cobaan yang berat, menagis karena belum mendapat pelukan sayang dari ibunya.
Bayi tersebut dibungkus dengan kain putih yang halus dan dipeluk erat oleh ibunya, bayi itupun diam, bayi itu menganggap ibu adalah mainan penghibur laranya. Ibu pun mencium pipi anaknya walaupun Ibu masih terbaling lemah di kasur. Kemudian datanglah ayah dan kakek yang berusia 50 tahunan, kakek itu adalah ayah dari ibu yang melahirkan bayi tersebut. Ayah sebenarnya tidak tahu kalau ibu sedang melahirkan sebab pekerjaannya jauh dan tidak ada yang mengabari. Di zaman yang masih di pimpin oleh presiden Soeharto belum ada telepon genggam. Tapi ayah tahu sebab mempunyai firasat yang tidak enak kalau ada apa-apa dengan istrinya. Mereka mencium pipi bayi mungil yang masih merah dan lucu itu.
Kakek gantian menggendong aku, mencium pipi dan dahiku. Pelupuk mataku belum sanggupku buka. Begitu hangat pelukan kakek. Kemudian dia menempelkan mulutnya ke telinga bagian kanan. Dan ritualpun dimulai
Allahu akbar, allahu akbar
Allahu akbar, allahu akbar
Asyhadu allaa ilaahaillah
Asyhadu allaa ilaahaillah
Asyhadu anna muhammad rasullah
Asyhadu anna muhammad rasullah
Hayya 'alash sholash
Hayya 'alash sholash
Hayya 'allal fallah
Hayya 'allal fallah
Allahu akbar, allahu akbar
Laailaahaillahlah
Itulah suara yang aku dengar melalui mulut kakek yang ganteng itu. Aku membuka mata ini pelan-pelan, melihat rambut kakek yang sudah beruban mengenai wajahku. Menggelitiki hidungku yang kecil sebesar isi salak pondoh. Lampu neon berwarna putih menerangi isi rumah dan melihat dunia yang indah ini. Mulut kakekku menyanyikan paragraf demi paragraf melalui telinga kananku. Suara itu menggoncang gendang telingaku dan masuk ke otakku. Menancap erat dan terpaten di pikiranku. Dengan lantunan yang indah dan pasti, adzan menjadi suara pengiring hidup sang bayi. Lembaran buku baru telah dibuka, lembaran putih bersih tak bernoda. Tinggal aku mengisinya dengan kebaikan atau keburukan.
Saat kita lahir di dunia, maka kali pertama yang kita dengar adalah asma Allah dan berusahalah saat kita meninggalkan dunia ini, maka tinggalkan dengan mengucapkan asma Allah.
Saat kali pertama kita lahir, kita menangis tetapi orang sekeliling kita bahagia dengan kelahiran kita. Maka saat kita mati, berusahalah agar kita mati dalam keadaan tersenyum dan orang sekeliling kita menangis karena kita meninggalkannya.
ﷲ
Bayi itu sudah dipenuhi janjinya untuk dikumandangkan adzan. Bayi tersebut mendapat nur Islam. Setelah itu kakek kemudian mengakhiri dengan doa. Mereka mendoakan seorang bayi laki-laki itu bisa tumbuh besar dan menjadi anak sholeh yang selalu berbakti kepada Orang tua. Dan tentunya selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT.
Bayi itu menangis lagi dipangkuan ibunya, sang ibupun menangis bercampur gembira melihat anak pertamanya telah lahir, sang ibu mengecup pipi bayi tersebut dengan kasih sayangnya dan ibupun mendoakan semoga anaknya menjadi anak yang bisa berbakti kepada orang tuanya dan selalu dikaruniai rahmat dan hidayah oleh Allah SWT.
Ibu itu mengelus-elus anaknya itu seperti membersihkan suatu kotoran yang tersibak di kulit sang bayi. Bayi laki-laki yang mungil, lucu dan baru lahir itu adalah aku.
ﷲ
“Bayi ini... mau diberi nama apa?”itulah kalimat yang mengusik dipikiran orang tua saat orang tua mempunyai anak yang baru lahir. Keluargaku berunding untuk memberi nama apa??? tanda tanya tiga kali, karena pertanyaan itu sangat membingungkan walaupun kalimat itu simpel.
Orang bilang "Apa arti sebuah nama?" memang benar sih kalimat itu, nama hanyalah sebuah kata yang tidak ada artinya. Orang tua memberikan anak yang bagus dan mempunyai arti yang begitu indah, tapi saat dia besar anak itu mempunyai watak yang jelek. Tapi bagiku, nama itu sangat penting karena nama adalah identitas seorang. Andaikan seluruh dunia ini manusia tidak mempunyai nama. Kita pasti kebingungan untuk memanggil saudara kita.
Nama adalah doa dari orang tua. Itulah arti sebuah nama bagiku. Misalnya kita menjadi orang tua, di lubuk hati yang dalam apa kita mau memberikan nama anak kita dengan nama jelek? Pasti kita tidak mau, sebab kita menginginkan anak kita sesuai dengan arti nama yang disandang oleh anak kita.
Ayahku tidak mau anaknya diberi nama Islam, sebab kita hidup di pulau Jawa, bukan hidup di tanah Arab. Makanya ayahku ngotot memberikan aku nama Jawa. Kemudian ayahku berpikir mau diberi nama apa aku. Ayahku mengambil namaku dari nama ayahku, Haryo. Dan ayahku memberi nama Yogo Pratisto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar