Sekuntum Bunga Mawar
Pukul 23.00 WIB
Jalanan Surabaya begitu lengang
di malam hari sehingga aku bisa melindas jalanan Surabaya – Gresik hanya dalam
waktu setengah jam. Sesampai di rumah, aku langsung ganti baju dan merebahkan
badanku di kursi panjang ruang tamu. Kutolehkan wajahku yang lesu ini ke lemari
buku. Tumpukan buku berjejeran seperti gerbong kereta api. Kuliat 2 buku
berharga buatku yang sudah lusuh di pojok lemari buku. Aku ingin sekali
menyentuh buku suci tersebut tapi badan ini tidak kuasa untuk menggerakkan
anggota badanku. Hari ini badanku begitu capek sebab kuliah dari pagi hingga
sore.
Kepala
kuganjal dengan jilbab ibuku dan kuletakkan tangan kiriku diatas kepalaku.
Kulihat atap rumahku yang disinari lampu neon 20 watt. Dalam hati kecilku, aku
ingin sekali membaca Al-Quran namun begitu malasnya diriku untuk membukanya.
Aku rindu dengan Al-Quran tapi karena kesibukan dunia, akupun melupakannya.
Sudah hampir seminggu ini aku tak menyentuhnya apalagi membacanya. Tapi di
malam ini aku begitu rindu dengan kekasihku itu. Rasa rinduku mengalahkan rasa
malasku. Aku kemudian wudhu dan kubaca ayat per ayat dalam kitab suci itu kemudian
aku tidur lelap dalam kerinduan yang sangat untuk bertemu dengan seseorang.
Bismika Allahumma ahya
wabismika amut
Tempat ini tidak asing lagi
bagiku. Sungai yang mengalir tenang di bawah jembatan kayu yang begitu megah
serta air sungai yang begitu sejuk dan jernih sehingga aku bisa melihat batu
yang duduk diam di dasar sungai. Ikan yang berada di dalam sungai saling
berkejar-kejaran dengan temannya. Burung-burung bertebaran di angkasa yang
berwarna biru dibalut dengan kapas berwarna putih. Rerumputan berwarna hijau
menyapa telapak kakiku menembus sela-sela jariku. Pohon-pohon yang penuh dengan
aneka buah yang buahnya siap untuk dimakan. Orang-orang yang berada di tempat
itu memakai pakaian warna hijau saling berkumpul dan bercanda tawa dengan orang
yang dicintai. Tapi aku hanya sendirian dipinggir sungai sambil menatap aliran
sungai yang begitu jernih. Indah sekali tempat itu, seribu kali lebih indah
dari pulau Bali dan puluhan ribu kali lebih indah dari gunung Bromo.
Kadang-kadang ada temanku yang
menyapa aku. Aku hanya mengangkat tanganku dan menjawab iya. Bidadari nan
cantik berseliweran dan membawa beberapa makanan untuk diberikan kepada
penghuni tempat ini. Tempat ini tidak ada kata malam maupun panas, yang ada
hanya pagi dan kesejukan.
Saat aku melamun di pinggir
sungai, pundak kiriku dipegang oleh seseorang. Aku kaget sehingga khayalanku
buyar seketika lalu aku menoleh ke pundak kiriku dan kulihat tangan itu.
Tangannya putih dan begitu lembut menyentuh pundakku. Tangannya seperti tangan
bekas berjuta-juta kali wudhu, berseri dan indah. Kutengokkan kepalaku ke belakang
sambil badanku mengikuti gerakan kepalaku ke belakang dan amboi... begitu
cantiknya anak yang memegang pundakku itu.
Aku tersenyum kepadanya, dia
menunduk malu. Pipinya yang putih sekarang berwarna merah merona. Wanita itu
ternyata Rena. Tangan lembutnya yang memegang pundakku sekarang dilepaskannya.
“Assalamu’alaikum Ai?”. Kata dia sambil tersenyum melihatku. Aku hanya diam, ku tak menyangka aku bisa bertemu dengan kekasihku untuk kali kedua. Cantik sekali dia, ku tak sanggup untuk melepas pandangan ke wajahnya. Wajahnya bagaikan magnet bagi mataku. “Assalamu’alaikum Ai?”. kata dia lagi sambil menggoyang-goyang badanku dengan tangan kanannya. “Assalamu’alaikum Ainur Rofiq?” ulang perkataannya sambil mencubit tanganku. Aku kaget dan kutundukkan wajahku ini, malu bukan kepalang sebab lama melihat wajahnya. “Wa’alaikumsalam Ren?”. Jawabku sambil tersenyum malu.
“Assalamu’alaikum Ai?”. Kata dia sambil tersenyum melihatku. Aku hanya diam, ku tak menyangka aku bisa bertemu dengan kekasihku untuk kali kedua. Cantik sekali dia, ku tak sanggup untuk melepas pandangan ke wajahnya. Wajahnya bagaikan magnet bagi mataku. “Assalamu’alaikum Ai?”. kata dia lagi sambil menggoyang-goyang badanku dengan tangan kanannya. “Assalamu’alaikum Ainur Rofiq?” ulang perkataannya sambil mencubit tanganku. Aku kaget dan kutundukkan wajahku ini, malu bukan kepalang sebab lama melihat wajahnya. “Wa’alaikumsalam Ren?”. Jawabku sambil tersenyum malu.
“Bagaimana kabarmu, ai?”.
“Ba.. ba.. baik Ren.” Jawabku
sambil terbata-bata dan keringatku bertetesan.
“Ai.. kalau ditanya bagaimana
kabarmu. Jawabnya Alhamdulillah, jangan hanya baik aja”
“Alhamdulillah.. bagaimana
kabarmu Ren?”. Aku tersenyum kepadanya.
“Alhamdulillah.. barakallahu akhi”.
jawabnya dengan semangat sambil membungkukkan badannya. Ku tersenyum dengan dia saat membungkukkan
badannya. Wanita yang sopan.
“Aku rindu sekali denganmu.
Sudah 2 bulan lebih aku tidak menjumpaimu. Aku rindu kamu”
“Aku juga Ai..”
Dia kemudian
memegang tangan kiriku dengan tangan kanannya, dia lalu menggandengku dan
menarik tangan kiriku. Dia bermaksud agar aku mengikutinya. Aku pun mengikutinya
sambil memegang tangan kanannya. Dia berada di depan dan aku berada di
belakang. Rambutnya yang panjang mengibas-ibas wajahku, aroma badannya seperti
bunga melati dan sepasang sayap putih dan kecil menempel di punggungnya. Aku
di bawa ke suatu tempat yang tidak jauh
dari sungai dan letaknya lebih tinggi dari tempat lain. Kuikuti dia melalui
jalan kecil, setelah sampai tujuan dia berhenti. Akupun berdiri di sebelahnya
dan kemudian kita duduk berdua beralaskan tanah di bawah pohon yang begitu
tinggi.
“Ai... aku begitu rindu
denganmu. Aku selalu menunggumu. Aku selalu memanggilmu. Tapi kenapa kamu tidak
menghiraukan aku. Engkau terlalu sibuk dengan duniamu yang fana hingga kamu
melupakan aku.”. Aku hanya diam mendengar jeritan hatinya. Kemudian aku
merangkai kata untuk menenangkan dia. “Afwan ukhti... aku terlalu sibuk dengan
duniaku. Aku sibuk dengan tugasku hingga aku melupakanmu. Maaf...”. Dia acuh
kepadaku sepertinya dia marah kepadaku tapi aku berusaha untuk menenangkan
hatinya. “aku berusaha untuk selalu mengingatmu, aku ingin sekali setiap pulang
kuliah kusempatkan waktu untuk berkomunikasi denganmu. Tapi aku malas sekali.
Maaf...”.
“Kamu belum sepenuhnya mencintai
aku Ai...”. katanya seperti pisau yang langsung menusuk hatiku. “Jika kamu
mencintai aku, maka kamu akan berusaha berkorban untukku. Berusaha menyapaku dan mengingatku. Tapi kamu
melupakanku.”
Aku diam melihat
dia marah kepadaku. Dia melihat ke arah sungai tanpa melihatku sedikitpun. Lalu
dia menoleh kepadaku sambil tersenyum, dia seakan-akan tahu semua isi hatiku.
“Aku tidak marah kepadamu ai, marahkan temannya setan”. Katanya sambil
tersenyum.
“Ai… dulu kamu berjanji kepadaku untuk
menghafalkan Al-Quran. Tapi sudah hampir 2 tahun kamu belum melangkahkan kakimu
untuk menghafalkan Al-Quran?”. Aku tersenyum kepadanya. Teng.. teng.. teng..
ronde kedua untuk marah.“Aku lemah dalam bahasa, sudah 12 tahun belajar bahasa Inggris tapi
tetap tidak bisa, apa lagi bahasa Arab ditambah lagi kesibukan kuliah. Aku tak mampu”.
Dia tersenyum kepadaku, “Kamu mampu kok ai… Kamu ingat saat Seseorang menjumpaimu dan mengajarimu membaca Al-Quran.
Beliau berpesan apa kepadamu?”. “Hafalkan Al-Quran ya” balasku.
“Beliau mempunyai
maksud tertentu kepadamu, beliau mengajarkan kepadamu untuk selalu Istiqomah
dalam belajar. Kalau kamu lemah dalam bahasa, gak bakalan beliau menyuruhmu
menghafalkan Al-Quran atau bahkan mungkin beliau berpesan lain”. Kata dia dengan mengerutkan dahinya.
“Kamu mampu menghafalkan Al-Quran dari para hafidzah lainnya. Kamu mampu kok,
tinggal kamu mau berusaha apa tidak”.
Setelah dia berkata
tersebut, angin berhembus dengan sejuk. Hamparan rumput hijau saling
bergoyang-goyang. Buah yang sudah masak dari pohonnya saling berjatuhan. “Ren…
bagaimana aku bisa istiqomah dalam membaca dan menghafalkan Al-Quran?”.
Sekejap dia berdiri
dan meninggalkanku sejenak. Aku melihat langkah demi langkah kakinya dan
mengambil sesuatu lalu menyembunyikannya di bawah lengan bajunya yang panjang.
Rok dan baju lengan panjang berwarna putih menutupi badannya. Kemudian dia kembali
menghampiriku dan duduk disebelahku lagi. Dia begitu unik, saat kutatap
wajahnya dia tertunduk malu dan saat aku menatap sekitar dia malah menatapku. Beberapa
menit kemudian dia meletakkan kepalanya di pundak kananku. Aku hanya diam
melihat dia meletakkan kepalanya di pundakku dan dia tidur…
Aku menunggunya
tidur dengan sabar tak kugerakkan badan ini sedikitpun supaya dia berlamaan
meletakkan kepalanya di atas pundakku. Setelah hampir dua jam menunggu, dia
kemudian bangun sambil membetulkan rambutnya. Aku kemudian berkata kepadanya, “kamu belum menjawab
pertanyaanku, bagaimana aku bisa istiqomah dalam membaca dan menghafalkan
Al-Quran?. Dia menjawab,“Aku sudah menjawabnya Ai”. “Hah.. kapan menjawabnya?” gumanku.
“Kamu sudah belajar Istiqomah kok, saat aku
tertidur di pundakmu. Engkau dengan sabar menungguku dua jam untuk menungguku bangun dari tidurku.
Istiqomah berada pada orang yang sabar. Saat kamu menghafalkan Al-Quran, maka
bersabarlah untuk menghafalkannya. Jangan terburu-buru. Jika kamu tidak sabar
maka kamu tidak bakalan bisa istiqomah. Saat kamu ingin menghafalkan Al-Quran
tapi tidak sabar maka kamu tidak bisa menghafalkannya. Istiqomah hanya berada
pada orang yang sabar”
“Syukron ai…”. Dia tersenyum mendengar kata
terimakasih kepadaku.
“Ai… ini hadiah untukmu, sekuntum bunga mawar
dariku. Bunga ini akan selalu mengingatkanmu kepadaku. Bunga ini akan layu saat
puasa ramadhan di hari pertama besok. Aku memberikanmu waktu 6 bulan untuk
menghafalkan Al-Quran. Jika engkau mencintai aku, maka kamu sanggup untuk
melaksanakan tantangan ini”. “Terimakasih… aku akan berusaha mengingatmu.
Terimakasih…”
Aku terbangun dari
tidurku, kudapati Al-Quran berada di pundakku. Tangkai bungai
mawar terselip di sela-sela Al-Quran dan bunganya menyembul keluar. Bunga mawar itu kuletakkan di kamarku dengan segelas air
putih yang berfungsi untuk memberikan minuman disaat dia haus. Inilah sekuntum
bunga mawar dari Rena tanda sebuah tantangan untukku darinya.
“Istiqomah berada pada orang yang sabar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar