Selasa, 13 November 2012

Sekuntum Bunga Mawar


Sekuntum Bunga Mawar
Pukul 23.00 WIB
                Jalanan Surabaya begitu lengang di malam hari sehingga aku bisa melindas jalanan Surabaya – Gresik hanya dalam waktu setengah jam. Sesampai di rumah, aku langsung ganti baju dan merebahkan badanku di kursi panjang ruang tamu. Kutolehkan wajahku yang lesu ini ke lemari buku. Tumpukan buku berjejeran seperti gerbong kereta api. Kuliat 2 buku berharga buatku yang sudah lusuh di pojok lemari buku. Aku ingin sekali menyentuh buku suci tersebut tapi badan ini tidak kuasa untuk menggerakkan anggota badanku. Hari ini badanku begitu capek sebab kuliah dari pagi hingga sore.
Kepala kuganjal dengan jilbab ibuku dan kuletakkan tangan kiriku diatas kepalaku. Kulihat atap rumahku yang disinari lampu neon 20 watt. Dalam hati kecilku, aku ingin sekali membaca Al-Quran namun begitu malasnya diriku untuk membukanya. Aku rindu dengan Al-Quran tapi karena kesibukan dunia, akupun melupakannya. Sudah hampir seminggu ini aku tak menyentuhnya apalagi membacanya. Tapi di malam ini aku begitu rindu dengan kekasihku itu. Rasa rinduku mengalahkan rasa malasku. Aku kemudian wudhu dan kubaca ayat per ayat dalam kitab suci itu kemudian aku tidur lelap dalam kerinduan yang sangat untuk bertemu dengan seseorang.
Bismika Allahumma ahya wabismika amut


                Tempat ini tidak asing lagi bagiku. Sungai yang mengalir tenang di bawah jembatan kayu yang begitu megah serta air sungai yang begitu sejuk dan jernih sehingga aku bisa melihat batu yang duduk diam di dasar sungai. Ikan yang berada di dalam sungai saling berkejar-kejaran dengan temannya. Burung-burung bertebaran di angkasa yang berwarna biru dibalut dengan kapas berwarna putih. Rerumputan berwarna hijau menyapa telapak kakiku menembus sela-sela jariku. Pohon-pohon yang penuh dengan aneka buah yang buahnya siap untuk dimakan. Orang-orang yang berada di tempat itu memakai pakaian warna hijau saling berkumpul dan bercanda tawa dengan orang yang dicintai. Tapi aku hanya sendirian dipinggir sungai sambil menatap aliran sungai yang begitu jernih. Indah sekali tempat itu, seribu kali lebih indah dari pulau Bali dan puluhan ribu kali lebih indah dari gunung Bromo.
                Kadang-kadang ada temanku yang menyapa aku. Aku hanya mengangkat tanganku dan menjawab iya. Bidadari nan cantik berseliweran dan membawa beberapa makanan untuk diberikan kepada penghuni tempat ini. Tempat ini tidak ada kata malam maupun panas, yang ada hanya pagi dan kesejukan.
                Saat aku melamun di pinggir sungai, pundak kiriku dipegang oleh seseorang. Aku kaget sehingga khayalanku buyar seketika lalu aku menoleh ke pundak kiriku dan kulihat tangan itu. Tangannya putih dan begitu lembut menyentuh pundakku. Tangannya seperti tangan bekas berjuta-juta kali wudhu, berseri dan indah. Kutengokkan kepalaku ke belakang sambil badanku mengikuti gerakan kepalaku ke belakang dan amboi... begitu cantiknya anak yang memegang pundakku itu.
                Aku tersenyum kepadanya, dia menunduk malu. Pipinya yang putih sekarang berwarna merah merona. Wanita itu ternyata Rena. Tangan lembutnya yang memegang pundakku sekarang dilepaskannya.
“Assalamu’alaikum Ai?”. Kata dia sambil tersenyum melihatku. Aku hanya diam, ku tak menyangka aku bisa bertemu dengan kekasihku untuk kali kedua. Cantik sekali dia, ku tak sanggup untuk melepas pandangan ke wajahnya. Wajahnya bagaikan magnet bagi mataku. “Assalamu’alaikum Ai?”. kata dia lagi sambil menggoyang-goyang badanku dengan tangan kanannya. “Assalamu’alaikum Ainur Rofiq?” ulang perkataannya sambil mencubit tanganku. Aku kaget dan kutundukkan wajahku ini, malu bukan kepalang sebab lama melihat wajahnya. “Wa’alaikumsalam Ren?”. Jawabku sambil tersenyum malu.
                “Bagaimana kabarmu, ai?”.
                “Ba.. ba.. baik Ren.” Jawabku sambil terbata-bata dan keringatku bertetesan.
                “Ai.. kalau ditanya bagaimana kabarmu. Jawabnya Alhamdulillah, jangan hanya baik aja”
                “Alhamdulillah.. bagaimana kabarmu Ren?”. Aku tersenyum kepadanya.
                “Alhamdulillah.. barakallahu akhi”. jawabnya dengan semangat sambil membungkukkan badannya. Ku  tersenyum dengan dia saat membungkukkan badannya. Wanita yang sopan.
                “Aku rindu sekali denganmu. Sudah 2 bulan lebih aku tidak menjumpaimu. Aku rindu kamu”
                “Aku juga Ai..”
Dia kemudian memegang tangan kiriku dengan tangan kanannya, dia lalu menggandengku dan menarik tangan kiriku. Dia bermaksud agar aku mengikutinya. Aku pun mengikutinya sambil memegang tangan kanannya. Dia berada di depan dan aku berada di belakang. Rambutnya yang panjang mengibas-ibas wajahku, aroma badannya seperti bunga melati dan sepasang sayap putih dan kecil menempel di punggungnya. Aku di  bawa ke suatu tempat yang tidak jauh dari sungai dan letaknya lebih tinggi dari tempat lain. Kuikuti dia melalui jalan kecil, setelah sampai tujuan dia berhenti. Akupun berdiri di sebelahnya dan kemudian kita duduk berdua beralaskan tanah di bawah pohon yang begitu tinggi.
                “Ai... aku begitu rindu denganmu. Aku selalu menunggumu. Aku selalu memanggilmu. Tapi kenapa kamu tidak menghiraukan aku. Engkau terlalu sibuk dengan duniamu yang fana hingga kamu melupakan aku.”. Aku hanya diam mendengar jeritan hatinya. Kemudian aku merangkai kata untuk menenangkan dia. “Afwan ukhti... aku terlalu sibuk dengan duniaku. Aku sibuk dengan tugasku hingga aku melupakanmu. Maaf...”. Dia acuh kepadaku sepertinya dia marah kepadaku tapi aku berusaha untuk menenangkan hatinya. “aku berusaha untuk selalu mengingatmu, aku ingin sekali setiap pulang kuliah kusempatkan waktu untuk berkomunikasi denganmu. Tapi aku malas sekali. Maaf...”.
                “Kamu belum sepenuhnya mencintai aku Ai...”. katanya seperti pisau yang langsung menusuk hatiku. “Jika kamu mencintai aku, maka kamu akan berusaha berkorban untukku. Berusaha menyapaku dan mengingatku. Tapi kamu melupakanku.
                Aku diam melihat dia marah kepadaku. Dia melihat ke arah sungai tanpa melihatku sedikitpun. Lalu dia menoleh kepadaku sambil tersenyum, dia seakan-akan tahu semua isi hatiku. “Aku tidak marah kepadamu ai, marahkan temannya setan”. Katanya sambil tersenyum.
“Ai… dulu kamu berjanji kepadaku untuk menghafalkan Al-Quran. Tapi sudah hampir 2 tahun kamu belum melangkahkan kakimu untuk menghafalkan Al-Quran?”. Aku tersenyum kepadanya. Teng.. teng.. teng.. ronde kedua untuk marah.“Aku lemah dalam bahasa, sudah 12 tahun belajar bahasa Inggris tapi tetap tidak bisa, apa lagi bahasa Arab ditambah lagi kesibukan kuliah. Aku tak mampu”. Dia tersenyum kepadaku, “Kamu mampu kok ai… Kamu ingat saat Seseorang menjumpaimu dan mengajarimu membaca Al-Quran. Beliau berpesan apa kepadamu?”. “Hafalkan Al-Quran ya” balasku.
                “Beliau mempunyai maksud tertentu kepadamu, beliau mengajarkan kepadamu untuk selalu Istiqomah dalam belajar. Kalau kamu lemah dalam bahasa, gak bakalan beliau menyuruhmu menghafalkan Al-Quran atau bahkan mungkin beliau berpesan lain”. Kata dia dengan mengerutkan dahinya. “Kamu mampu menghafalkan Al-Quran dari para hafidzah lainnya. Kamu mampu kok, tinggal kamu mau berusaha apa tidak”.
                Setelah dia berkata tersebut, angin berhembus dengan sejuk. Hamparan rumput hijau saling bergoyang-goyang. Buah yang sudah masak dari pohonnya saling berjatuhan. “Ren… bagaimana aku bisa istiqomah dalam membaca dan menghafalkan Al-Quran?”.
                Sekejap dia berdiri dan meninggalkanku sejenak. Aku melihat langkah demi langkah kakinya dan mengambil sesuatu lalu menyembunyikannya di bawah lengan bajunya yang panjang. Rok dan baju lengan panjang berwarna putih menutupi badannya. Kemudian dia kembali menghampiriku dan duduk disebelahku lagi. Dia begitu unik, saat kutatap wajahnya dia tertunduk malu dan saat aku menatap sekitar dia malah menatapku. Beberapa menit kemudian dia meletakkan kepalanya di pundak kananku. Aku hanya diam melihat dia meletakkan kepalanya di pundakku dan dia tidur…
                Aku menunggunya tidur dengan sabar tak kugerakkan badan ini sedikitpun supaya dia berlamaan meletakkan kepalanya di atas pundakku. Setelah hampir dua jam menunggu, dia kemudian bangun sambil membetulkan rambutnya. Aku kemudian berkata kepadanya, “kamu belum menjawab pertanyaanku, bagaimana aku bisa istiqomah dalam membaca dan menghafalkan Al-Quran?. Dia menjawab,“Aku sudah menjawabnya Ai”. “Hah.. kapan menjawabnya?” gumanku.
“Kamu sudah belajar Istiqomah kok, saat aku tertidur di pundakmu. Engkau dengan sabar menungguku dua jam untuk menungguku bangun dari tidurku. Istiqomah berada pada orang yang sabar. Saat kamu menghafalkan Al-Quran, maka bersabarlah untuk menghafalkannya. Jangan terburu-buru. Jika kamu tidak sabar maka kamu tidak bakalan bisa istiqomah. Saat kamu ingin menghafalkan Al-Quran tapi tidak sabar maka kamu tidak bisa menghafalkannya. Istiqomah hanya berada pada orang yang sabar”
Syukron ai…”. Dia tersenyum mendengar kata terimakasih kepadaku.
“Ai… ini hadiah untukmu, sekuntum bunga mawar dariku. Bunga ini akan selalu mengingatkanmu kepadaku. Bunga ini akan layu saat puasa ramadhan di hari pertama besok. Aku memberikanmu waktu 6 bulan untuk menghafalkan Al-Quran. Jika engkau mencintai aku, maka kamu sanggup untuk melaksanakan tantangan ini”. “Terimakasih… aku akan berusaha mengingatmu. Terimakasih…”


                Aku terbangun dari tidurku, kudapati Al-Quran berada di pundakku. Tangkai bungai mawar terselip di sela-sela Al-Quran dan bunganya menyembul keluar. Bunga mawar itu kuletakkan di kamarku dengan segelas air putih yang berfungsi untuk memberikan minuman disaat dia haus. Inilah sekuntum bunga mawar dari Rena tanda sebuah tantangan untukku darinya.
“Istiqomah berada pada orang yang sabar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar